KUASA-KUASA YANG ADA HUBUNGANNYA DENGAN KUASA MUTLAK, HAK
TANGGUNGAN DAN IKATAN JUAL BELI
Beberapa waktu
yang lalu orang telah menghebohkan tentang adanya suatu bentuk surat atau akte
kuasa, yang mereka namakan "kuasa
mutlak". Yang mereka maksudkan dengan kuasa mutlak itu tidak lain dan
tidak bukan ialah suatu bentuk kuasa
yang tidak dapat dicabut kembali atau yang dalam bahasa Belanda disebut
"onherroepelijke volmacht".
Mengapa perlu dihebohkan oleh sebagian masyarakat
terten-tu? Sebab kuasa yang mereka anggap tidak bisa dicabut kembali itu
sebenarnya sudah sama tuanya seperti usia KUH Perdata sendiri.Untuk dapat
mengetahui dan menilai apa sebenarnya kuasa mutlak atau onherroepelijke
volmacht itu, maka kita harus kem¬bali kepada sejarah hukumnya. Oleh karena
yang erat hubungannya dengan kuasa mutlak itu ialah lembaga gadai dan hipotik,
maka perlu ditinjau lebih dahulu sejarah mengenai kedua lembaga termaksud.
Schermer dalam bukunya "Ontwerpen van
notariele akten" mengenai gadai dan hipotik menulis, bahwa hukum gadai
atau pandrecht bukanlah suatu penemuan dari zaman sekarang. Sudah berabad-abad
lamanya hukum gadai itu telah ada, meskipun dalam bentuk yang berbeda-beda,
Asser dan van Heusde dalam bukunya bagian II halaman 285, yang disitir oleh
Schermer memberitakan tentang itu sebagai berikut:
Dalam hukum Romawi, maka gadai mula-mula berbentuk
penyerahan hak milik (eigendomsoverdracht) dengan ketentuan, bahwa kreditur
harus menyerahkan kembali barang yang digadai-kan itu, jika debitur telah
membayar lunas utangnya. Selama utangnya belum dibayar lunas, maka barang yang
digadaikan itu tetap menjadi milik kreditur, yang sebaliknya berhak juga untuk
menyerahkan barang yang digadaikan itu kepada debitur¬nya, baik dalam bentuk perjanjian sewa-menyewa maupun perjanjian
pakai. Ini merupakan bentuk gadai yang pertama.
Dalam bentuk gadai yang kedua, maka yg diserahkan bukanlah hak miliknya, tapi hak kekuasaannya (bezit). Apabila utangnya telah dibayar lunas, maka krediturnya wajib menyerahkan kembali hak kekuasaanya itu kepada debitur. Jikalau debitur tidak memenuhi kewajibannya, maka krediturnya berhak untuk menjual barang yang digadaikan itu, agar supaya ia dapat menerima pembayaran dari hasil penjualan barang tersebut. Dalam bentuk gadai yang kedua ini, masih ada kemungkinan, bahwa barang yang digadaikan itu tetap dipegang oleh debitur untuk dipakainya.
Dalam bentuk gadai yang kedua, maka yg diserahkan bukanlah hak miliknya, tapi hak kekuasaannya (bezit). Apabila utangnya telah dibayar lunas, maka krediturnya wajib menyerahkan kembali hak kekuasaanya itu kepada debitur. Jikalau debitur tidak memenuhi kewajibannya, maka krediturnya berhak untuk menjual barang yang digadaikan itu, agar supaya ia dapat menerima pembayaran dari hasil penjualan barang tersebut. Dalam bentuk gadai yang kedua ini, masih ada kemungkinan, bahwa barang yang digadaikan itu tetap dipegang oleh debitur untuk dipakainya.
Bentuk gadai yang ketiga adalah hipotik. Dalam bentuk gadai semacam ini, maka baik hak
milik maupun hak kekuasaan dari barang yang digadaikan itu tidak pindah kepada
kreditur. Akan tetapi barang yang tetap dipegang oleh debitur itu, terikat
kepada kreditur dengan suatu hak kebendaan atau zakelijk recht, hak kebendaan
mana memberikan suatu kewenangan kepada kreditur untuk apabila debitur tidak
memenuhi kewajibannya menjual barang termaksud, agar supaya ia dapat menerima
pem-bayaran dari hasil penjualan barang itu.
Perbedaan yang menonjol antara hak gadai dan hak hipotik seperti termaksud
di atas ialah, bahwa dalam gadai hak kekuasaan (bezit) atas barang yang
digadaikan pindah ke tangan kreditur, sedangkan dalam hipotik hak kekuasaan itu
tidak pindah ke tangan kreditur. Yang terpenting ialah, bahwa kreditur berhak untuk menjual barang yang
digadaikan itu, sedangkan untuk kedua hak itu, baik gadai maupun hipotik dapat
diikatkan, baik barang-barang bergerak maupun barang-barang tidak bergerak.
Perlu diketahui, bahwa hukum Romawi adalah sumber
dari Code Civil, sedangkan KUH Perdata yang dipakai di Indonesia asalnya dari
KUH Perdata Belanda, yang seluruhnya mencontoh dari Code Civil. Lambat laun,
maka keadaan menjadi berubah, sehingga gadai hanya dapat diterapkan atas
barang-barang bergerak dan hipotik atas barang-barang tidak bergerak. Dan
keadaan yang demikian itu terus berjalan sampai sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya, maka kreditur -
pemegang gadai menurut pasal 1155 KUH Perdata berhak untuk - jikalau antara
para pihak tidak diadakan perjanjian lain - setelah jangka waktu yang
ditetapkan telah lewat, menjual barang yang digadaikan itu di muka umum dengan
jalan pelelangan apabila debiturnya tidak memenuhi kewajibannya, agar supaya
kreditur dapat menerima pembayaran dari hasil penjualan itu. Dengan perkataan
lain, kreditur-pemegang gadai dapat menjalankan hak, seakan-akan itu haknya
sendiri untuk melakukan penjualan lelang, bebas dan lepas dari kehendak debitur
yang menggadaikan barangnya.
Sebaliknya kepada kreditur - pemegang hipotik
tidak diberikan hak seperti pemegang gadai, melainkan semua hanya diberikan
kuasa biasa untuk menjual benda yang dihipotikkan, akan tetapi oleh karena
kuasa semacam itu setiap waktu dapat dicabut kembali oleh debitur-pemberi
hipotik, sehingga kreditur-pemegang hipotik dapat dirugikan oleh
debitur-pemberi hipotik, maka kemudian kuasa itu ditetapkan sebagai kuasa yang
tidak dapat dicabut kembali seperti yang kita kenal sekarang dalam pasal 1178
ayat 2 KUH Perdata, yang berbunyi:
"Akan tetapi kepada kreditur pemegang hipotik
pertama diberikan kebebasan untuk pada waktu hipotiknya didaftarkan, secara
tegas mensyaratkan, bahwa apabila utang pokoknya tidak dibayar dengan
semestinya atau bunga-bunganya yang terutang tidak dibayar, kreditur pemegang
hipotik diberi kuasa yang tidak dapat dicabut kembali, untuk menjual persil
yang dihipotikkan itu di muka umum, agar supaya ia dapat menerima pembayaran
dari hasil penjualan itu, baik utang pokok maupun bungs-bungs dan ongkos-ongkosnya."
Kuasa mutlak inilah yang merupakan satu-satunya
yang ada dalam KUH Perdata berdasarkan suatu ketentuan dalam Undang-undang,
sedangkan kuasa mutlak yang lain hanya merupakan produk yang keluar dari
perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Mengenai kuasa mutlak eks pasal 1178
ayat 2 KUH Perdata itu sendiri sebenarnya sudah lama, bahkan sampai sekarang
masih banyak terdapat perbedaan pendapat.
Hoge Raad Belanda sendiri dalam rentetan
keputusan-keputusan mengenai hal itu menganut doktrin "mandaats-leer"
atau "mandaats-theorie" yang berarti, bahwa kreditur-pemegang
hipotik, yang menjual benda yang dihipotikkan itu berdasarkan pasal 1178 ayat 2
KUH Perdata bertindak sebagai kuasa dari pemilik-pemberi hipotik.
Sebaliknya Majelis-majelis Hakim (Rechtscolleges)
Belanda lainnya dan yang terbanyak dari Sarjana Hukum yang berwibawa
(gezaghebbende rechtsgeleerden) berpendapat, bahwa kewenangan yang diberikan
oleh pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata memberikan hak pribadi (eigen recht) kepada
kreditur sedemikian rupa, sehingga jikalau ia menggunakan kewenangan itu ia
bertindak untuk diri sendiri, sedangkan penjualan yang ia lakukan merupakan
suatu eksekusi yang disederhanakan dengan biaya yang murah, yang disebut
"executivetheorie".
Kedua doktrin tersebut masing-masing mempunyai
untung ruginya.
Apabila kreditur-pemegang hipotik menjual benda
yang dihipotikkan sebagai kuasa dari debitur-pemberi hipotik, maka yang
dianggap menjadi penjualnya adalah debitur-pemberi hipotik, sehingga ia antara
lain harus menjamin (vrijwaren) pembelinya mengenai cacad-cacad yang tidak
kelihatan dan lain sebagainya sesuai dengan pasal 1491 KUH Perdata, yang
berbunyi:
"Jaminan yang harus diberikan oleh penjual
kepada pembeli mempunyai dua tujuan, yaitu yang pertama, penguasaan benda yang dijualnya itu dengan tenang dan
damai; yang kedua, cacad-cacad yang
tidak kelihatan dan lain sebagainya dari benda yang dijualnya itu dan yang
dapat mengakibatkan batalnya jual-beli termaksud".
Pokoknya dalam hal yang demikian itu akan berlaku
segala ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian jual-beli biasa menurut pasal
1492 dan selanjutnya dari KUH Perdata. Akan tetapi apabila kreditur-pemegang
hipotik melakukan penjualan dengan kewenangan yang didasarkan atas pasal 1178
ayat 2 KUH Perdata sebagai eksekusi yang disederhanakan, maka akibat hukumnya
akan lain sekali daripada yang pertama.
Sebab kreditur-pemegang hipotik tidak menjualnya
sebagai kuasa dari debitur-pemberi hipotik, akan tetapi atas nama sendiri,
sehingga penjualan itu hampir sama seperti penjualan yang dilakukan berdasar
keputusan Hakim. Dalam penjualan semacam itu, baik kreditur-pemegang hipotik
maupun debitur-pemberi hipotik tidak perlu menanggung apapun juga terhadap
pembelinya, sedangkan pembersihan atau zuivering dapat dilakukan juga, apabila
jumlah hasil penjualannya tidak mencukupi untuk membayar jumlah utangnya.
Setelah kita mengikuti uraian yang termaksud di
atas, maka kita sampai kepada suatu KESIMPULAN, bahwa kuasa yang tidak dapat
dicabut kembali yang didasarkan atas Undang-undang itu SEBENARNYA tidak ada,
sebab satu-satunya saja yang ada seperti tercantum dalam pasal 1178 ayat 2 KUH
Perdata, oleh Majelis-majelis Hakim Belanda kecuali Hoge Raad - dan yang
terbanyak dari para Sarjana Hukum yang berwibawa dianggap bukan sebagai kuasa,
melainkan sebagai pemberian hak pribadi untuk menjual benda yang dihipotikkan.
Perlu diketahui, bahwa kuasa yang termaksud dalam
pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata semula berasal dari Hukum kuno, ialah dari apa
yang disebut "procuratio in rem suam", yaitu suatu kuasa yang menurut
kebiasaan diberikan oleh debitur kepada -dan untuk kepentingan kreditur pribadi
untuk - jika debitur tidak membayar utangnya menjual benda yang ditanggungkan
itu.
Lalu bagaimana selanjutnya dengan kesimpulan
termaksud, bahwa KUH Perdata sebenarnya tidak mengenai kuasa yang tidak dapat
dicabut kembali, seperti halnya dengan Code Civil, yang menurut Rijke, seorang
penulis terkernuka, juga tidak mengenai kuasa yang tidak dapat dicabut
kembali.
Menurut Asser-Kamphuisen, maka para pihak dapat
menentukan, bahwa suatu kuasa tidak dapat dicabut kembali. Pasal 1814 KUH
Perdata yang berbunyi: "Pemberi kuasa dapat mencabut kembali kuasanya,
jika hal itu dianggap perlu olehnya dan apabila ada alasan untuk itu menuntut
kepada pemegang kuasa untuk mengembalikan akta kuasanya yang dipegang oleh
pemegang kuasa", merupakan ketentuan yang bebas dan tidak mengikat,
sehingga para pihak dapat membuat perjanjian tentang kuasa yang tidak dapat
dicabut kembali, seperti telah disinggung di atas.
Adapun perjanjian-perjanjian yang biasanya
membutuhkan kuasa yang tidak dapat
dicabut kembali itu, ialah misalnya:
I.
Perjanjian kredit notariil dengan
tanggungan hipotik disertai pemberian kuasa yang tidak dapat dicabut kembali
kepada kreditur untuk memasang hipotik itu dengan jalan membuat akta PPAT untuk
hipotik.
Sebelum berlakunya Undang-undang Pokok Agraria
dalam tahun 1960, maka seorang peminjam dapat memberikan (verlenen) hipotik
kepada krediturnya dalam akta kreditnya atau akta obligasinya dengan pemberian
kuasa yang tidak dapat dicabut kembali untuk mendaftarkan (vestigen) hipotik
itu di Kantor Agraria dahulu Kantor Kadaster. Baik dalam akta kreditnya yang
dibuat oleh notaris maupun dalam akta pemasangan hipotik yang dibuat oleh
Kantor Kadaster, terutama ketentuan-ketentuan yang ter-cantum dalam pasal 1178,
1185 dan 1210 KUH Perdata dan pasal 297 KURD harus dicantumkan.
Ada perbedaan yang prinsipiil antara kuasa yang
tidak dapat dicabut kembali yang diberikan oleh debitur untuk mendaftarkan
hipotik itu dan kuasa yang tidak dapat dicabut kembali yang tercantum dalam
akta pendaftaran hipotik yang dibuat oleh Kantor Kadaster dan yang didasarkan
atas pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata.
Kedua kuasa itu meskipun kedua-duanya tidak dapat
dicabut kembali, namun hanya yang didasarkan atas pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata
saja yang benar-benar berdasarkan ketentuan Undang-undang, yaitu pasal 1178
ayat 2 KUH Perdata, tidak dapat dicabut kembali, sedangkan kuasa yang diberikan
dalam akta obligasinya untuk mendaftarkan hipotiknya bisa dicabut kembali,
meskipun kuasa itu diberikan dengan syarat tidak dapat dicabut kembali.
Setelah berlakunya UUPA, maka pemberian hipotik
dan pendaftaran-atau pemasangannya dapat dilakukan dalam satu akta hipotik yang
dibuat oleh PPAT. Dengan adanya akta hipotik PPAT itu, maka disebutkan dalam
akta termaksud, bahwa kreditur telah mendapatkan hipotik atas tanah-tanah yang
dihipotikkan. Akan tetapi selama akta hipotik PPAT itu setelah dimasukkan ke
Kantor Agraria belum diproses oleh Kantor Agraria tersebut sedemi¬kian rupa,
sehingga dapat dikeluarkan sertifikat hipotiknya, maka pemasangan hipotik itu
baru berlaku antara para pihak secara intern dan belum berlaku secara ekstern
terhadap pihak ketiga (derden).
Keadaan yang demikian itu dapat menimbulkan
masalah hukum yang cukup pelik. Misalnya, jikalau berdasarkan keputusan Hakim
benda yang dihipotikkan itu disita konservatoir atau executoriaal, apakah
hipotik yang didapat oleh kreditur berdasarkan akta hipotik PPAT yang belum
dilengkapi dengan sertifikat hipotiknya dapat menangkis penyitaan itu,
sedemikian rupa, sehingga kreditur dapat menjalankan haknya dengan penuh
sebagai pemegang hipotik dengan menganggap seakan-akan penyitaan itu tidak ada?
Apabila kita membandingkan cara-cara pemberian
hipotik dan pendaftarannya menurut peraturan yang lama sebelum berlakunya UUPA,
maka says cenderung untuk mengatakan, bahwa pemegang hipotik yang
surat-suratnya belum lengkap itu, tidak dapat menjalankan haknya dengan penuh
sebagai pemegang hipotik tanpa cacat.
Menurut peraturan yang lama mengenai pemberian dan
pendaftaran hipotik, maka meskipun sudah ada akta obligasinya secara notariil
dengan pemberian (verlenen) hipotik, namun jikalau pendaftarannya (vestiging)
di Kantor Kadaster belum selesai, maka hak hipotiknya juga belum dianggap
sempurna, sehingga jikalau tanah yang dihipotikkan itu disita, maka hipotiknya
juga tidak bila didaftarkan.
Keadaan yang demikian itu mungkin sama saja dengan
keadaan sekarang. Apabila ada penyitaan atas benda yang dihipotikkan sedangkan
Kantor Agraria belum dapat menyelesaikan pembuatan sertifikat hipotiknya, maka
BIASANYA Kantor Agraria akan menganggap, bahwa terjadi sengketa atau
perselisihan mengenai tanah yang bersangkutan, yang tidak memungkinkan
dibuatnya sertifikat hipotik itu sampai sengketa atau perselisihan itu
terselesaikan, sama halnya dengan masalah tanah yang telah dijual dengan akta
PPAT dan harus didaftarkan atas nama pembelinya.
Apabila tanah itu disita, maka pendaftaran tanah
itu atas nama pembelinya juga tidak mungkin dilaksanakan, sebelum sita itu
dihapus. Pasal 22 ayat 1 Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1961 berbunyi
sebagai berikut:
"Mengenai tanah yang sudah dibukukan, maka
Pejabat dapat menolak permintaan untuk membuat akta sebagai yang dimaksud dalam
pasal 19, jika:
a.
permintaan itu tidak disertai dengan sertifikat tanah yang bersangkutan;b. tanah yang menjadi obyek perjanjian ternyata masih dalam perselisihan;
c. tidak disertai surat tanda bukti pembayaran biaya pendaftarannya."
Terhadap ketentuan sub b, yaitu jika "tanah
yang menjadi obyek ternyata masih dalam perselisihan", umumnya
PPAT-Notaris. cukup mengerti untuk memberikan penilaian kepada kata
"perselisihan" itu menurut hukumnya, ialah jika terhadap tanah itu
diajukan gugatan di muka Pengadilan Negeri, baik dengan disertai penyitaan
konservatoir atau tidak.
Apabila Kantor Agraria dalam melaksanakan
pembalikan nama tanah atau pendaftaran hipotik menerapkan ketentuan sub b dari
pasal 22 termaksud sesuai dengan tafsiran atau interpretasi dari para
PPAT-notaris, maka hal itu tidak menimbulkan masalah.
Akan tetapi dalam prakteknya, suatu proses
pembalikan nama tanah atau pendaftaran hipotik dapat ditangguhkan oleh Kantor
Agraria, apabila Kantor Agraria menerima surat pengaduan dari seseorang, yang
hanya menerangkan tanpa pembuktian lebih lanjut tentang adanya proses di muka
Pengadilan Negeri, bahwa tanah yang akan dibalik nama atau dihipotikkan itu
masih terlibat perselisihan atau sengketa, maka pembalikan namanya atau
pendaftaran hipotiknya bisa ditangguhkan atau tertunda sampai terselesaikannya
perselisihan atau sengketa tersebut, hal mana perlu diusahakan untuk
mendapatkan penjelasan atau clearance dari instansi yang berwenang mengenai
kriteria tentang pengertian perselisihan atau sengketa yang dimaksud, oleh
karena keadaan yang demikian itu telah mengakibatkan banyak kerugian yang tidak
ternilai bagi para yang berkepentingan.
II.
Perjanjian gadai, di mana yang digadaikan
suatu penagihan utang (schuldvordering), maka debitur-pemberi gadai harus memberikan
kuasa yang tidak dapat dicabut kembali kepada kreditur-pemegang gadai untuk
dapat mints pembayaran dari penagihan utang yang digadaikan itu. Juga dalam hal
fiduciaire eigendomsoverdracht yang meliputi sebuah perusa¬haan, maka kreditur
perlu mendapatkan kuasa yang sama untuk dapat menagih segala
penagihan-penagihan yang kemudian akan didapat oleh perusahaan yang
difiduciakan itu.
III.
Perjanjian kredit dengan tanggungan rumah
tanpa tanah, di mana debitur memberikan kuasa yang tidak dapat dicabut kembali
kepada kreditur untuk - jikalau debitur tidak membayar utangnya menjual rumah
itu.
Kuasa-kuasa yang termaksud di sebelah angka I, II
dan III termaksud biasanya dalam aktanya masing-masing ditetapkan sebagai kuasa yang tidak dapat dicabut kembali,
yaitu sebagai syarat mutlak dan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
perjanjian yang dibuat oleh para pihak dan yang tidak akan dilangsungkan tanpa
adanya kekuasaan itu dengan melepaskan aturan-aturan hukum yang menentukan
tentang berhentinya sesuatu kekuasaan.
Oleh karena kuasa-kuasa itu diberikan kepada dan
untuk kepentingan kreditur pribadi, maka kuasa-kuasa yang demikian itu
mempunyai sumber yang sama seperti pasal
1178 ayat 2 KUH Perdata, yaitu "procuratio in rem suatu" seperti
disinggung di atas. Dengan demikian, maka kuasa termaksud dianggap tidak batal
oleh karena terjadinya hal-hal yang termaksud dalam pasal 1813 KUH Perdata. Raad
van Justitie Semarang dalam keputusannya tgl. 4 September 1936 (Lihat Indisch
Tijdschrift van het Recht, bagian 146 tahun 1937), mengenai pasal 1813 KUH
Perdata menetapkan, bahwa :
"Kuasa yang tidak dapat dicabut kembali untuk menjual, apabila debitur
yang telah meninggal dunia tidak memenuhi kewajibannya terhadap
kreditur-pemegang kuasa, merupakan kuasa yang diberikan untuk keuntungan
kreditur-pemegang kuasa,
sehingga kreditur itu mendapatkan suatu hak pribadi untuk melakukan perbuatan
hukum, untuk mana ia telah dikuasakan, sedangkan kuasa itu tidak batal oleh
karena terjadinya hal-hal yang mengakibatkan berhentinya suatu kuasa".
Dengan adanya keputusan Raad van Justitie
tersebut, maka kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa Raad van Justitie
Semarang tidak mengikuti jejak Hoge Raad Belanda, yang menerapkan theori
mandaat atau mandaatsleer, melainkan justru menerapkan theori eksekusi yang
disederhanakan, seperti yang dianut oleh Majelis-majelis Hakim Belanda -
kecuali Hoge Raad -dan para Sarjana Hukum yang berwibawa. Meskipun demikian
keadaannya, namun baik theori maandaat maupun theori eksekusi sampai sekarang masih
mempunyai pendukungnya masing-masing.
Untuk menjaga agar supaya pihak yang diberi kuasa
tidak menderita kerugian, apabila penafsiran doktrin termaksud tidak
menguntungkannya, maka dalam praktek kenotariatan sebaiknya harus ditempuh
jalan yang lebih aman. Kuasa-kuasa yang semacam itu perlu disertai suatu
perjanjian, bahwa apabila pemberi kuasa mencabut kembali kuasanya atau
meninggal dunia dan para ahliwarisnya tidak bersedia memberikan kuasa baru,
pemberi kuasa diwajibkan membayar kerugian kepada pemegang kuasa menurut
kebutuhan.
Pasal 56 ayat 1 Peraturan Kepailitan
(Faillissements verordening menyebutkan, bahwa kreditur pemegang hipotik, yang
membuat ketentuan seperti termaksud dalam pasal 1178 KUH Perdata dan kreditur
pemegang gadai dapat menjalankan hak-hak¬nya seperti kepailitan itu tidak ada.
Dengan adanya ketentuan itu, maka dengan
menggunakan tafsir hukum secara "a contrario", kuasa-kuasa yang lain,
meskipun diberikan dengan syarat tidak dapat dicabut kembali, akan batal,
apabila pemberi kuasanya jatuh pailit.
Hoge Raad Belanda dalam keputusannya tgl. 4 Mei
1933 N.J. 1933, 963 disitir oleh Pitlo dalam bukunya "Het
verbintenissenrecht" menetapkan, bahwa, kuasa yang diberikan oleh seorang
wanita dengan syarat tidak dapat dicabut kembali, menjadi batal juga, apabila
wanita itu kemudian menikah, sehingga kedudukan-nya pindah dari 'berhak
bertindak" (bekwaam) menjadi "tidak berhak bertindak"
(onbekwaam), oleh karena ketentuan itu sifatnya memaksa. (dwingend).
Apabila kita menggunakan tafsir hukum secara
'analogie', maka kuasa yang tidak dapat dicabut kembali, yang diberikan oleh
seorang yang kemudian ditaruh di bawah kuratele, menjadi batal juga, oleh
karena "pemberi kuasanya" mengalami perubahan status, yaitu dari
semula "berhak bertindak" menjadi "tidak berhak bertindak".
3. Sesuai dengan kenyataannya, baik ditinjau dari
segi peraturan/pengaturannya leasing ini bahkan suatu waktu merasakan bahwa
dalam beberapa segi kita ketinggalan dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Padahal justru itu, ilmu. pengetahuan itu, yang kita gumuli setiap hari dalam
menjalankan tugas kita sehari-hari. Kita kejar dan kita atasi dan kemudian
akhirnya kita kuasai ilmu pengetahuan itu.
Meskipun demikian keadaannya, namun baik theori maan¬daat
maupun theori eksekusi sampai sekarang masih mempunyai pendukungnya oleha
karena "pemberi kuasanya" mengalami perubahan status yaitu dari
semula "berhak bertindak" menjadi "tidak berhak bertindak".
Perlu diperhatikan, bahwa pada prinsipnya
tiap kuasa dapat dicabut kembali, sehingga hak untuk mencabutnya tidak dapat
ditiadakan oleh suatu perjanjian atau ketentuan, yang dibuat oleh para pihak.
Memang, suatu kuasa secara materialnya tidak boleh
dicabut kembali, yang berarti, bahwa pemberi kuasa terikat untuk tidak
mencabutnya, namun secara formal kuasa
itu boleh dicabut kembali, asal saja dengan membayar kerugian, apabila hal
itu dituntut, sesuai dengan ketentuan, yang ditetapkan dalam pasal 1242 KUH Perdata, yang
menetapkan, bahwa apabila ikatan yang dibuat itu terdiri dari sesuatu yang
tidak akan dilakukan, maka yang melanggarnya hanya oleh karena ia melanggar
wajib memba-yar ongkos-ongkos, ganti rugi dan bunga-bunganya.
Berhubung dengan apa yang diuraikan di atas
mungkin ada baiknya untuk merenungkan lebih lanjut tentang adanya kuasa-kuasa
yang akhir-akhir ini banyak dibuat oleh para notaris, yang hanya ditandatangani
oleh pemberi kuasanya saja, tanpa hadirnya pemegang kuasa, misalnya kuasa-kuasa
untuk mengurus, menjual, menghipotikkan atau menyewakan sebidang atau dua
bidang tanah beserta bangunan-bangunannya yang menjadi milik pemberi kuasa.
Dalam kuasa semacam itu biasanya disebutkan, bahwa
kuasa tersebut tidak dapat dicabut kembali dan tidak akan berakhir dengan
terjadinya hal-hal yang termaksud dalam pasal 1813 KUH Perdata. Sulit kiranya untuk dapat menentukan,
apakah kuasa yang semacam itu dapat dikategorikan sebagai kuasa yang diberikan
kepada dan untuk kepentingan pemegang kuasa, oleh karena kuasa semacam itu
seharusnya tidak berdiri sendiri, melainkan seperti diuraikan di atas harus
disertai dengan perjanjian pemberian tugas atau "overeenkomst van
lastgeving", agar supaya kuasa itu merupakan kuasa dengan pemberian tugas
atau "volmacht met lastgeving", sehingga dapat didasarkan atas
doktrin hukum "procuratio in rem suam" termaksud.
Akhirnya dengan
adanya uraian di atas mengenai kuasa yang tidak dapat dicabut kembali, maka
kuasa itu dengan mudah dapat digunakan juga untuk perjanjian pengikatan
jual-beli atau perjanjian yang serupa itu seperti misalnya perjanjian opsi.
(Hukum Perikatan
by PIETER LATUMETEN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar